Laporan: Krisis Covid-19 Terus Memperburuk Ketidaksetaraan Gender

  • Share

TORANGPEBERITA.COM- Data terbaru dari tujuh negara menunjukkan bahwa, sejak awal krisis COVID-19, lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang meninggalkan pekerjaan berbayar mereka untuk menyediakan layanan penting bagi keluarga, seperti membersihkan rumah dan mengajar anak di rumah.

Berkurangnya anggaran rumah tangga menyebabkan banyak yang mengalami kesulitan pangan, sementara air dan bahan bakar menjadi semakin tidak terjangkau.

Selain itu, produk medis dan kebersihan tetap tidak tersedia bagi banyak orang, sementara masalah rantai pasok dan misinformasi tentang vaksin membuat lebih banyak perempuan yang tidak divaksinasi dibanding  laki-laki.

Selama dua tahun pandemi COVID-19, perempuan terus terdampak berat oleh krisis, termasuk di negara-negara di mana virus tidak menyebar luas. Laporan terbaru ini menunjukkan bagaimana krisis secara tidak proporsional terus memengaruhi perempuan di tujuh negara tempat data dikumpulkan, yaitu Indonesia, Kiribati, Pakistan, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, dan Tonga.

Laporan berjudul Two years on: The lingering gendered effects of the COVID-19 pandemic in Asia and the Pacific, diluncurkan hari ini oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) dan Asian Development Bank (ADB), dengan dukungan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Pemerintah Australia (DFAT Australia).

Temuan dari laporan ini menyoroti bahwa tingkat vaksinasi COVID-19 berbeda antara perempuan dan laki-laki di sebagian besar negara. Di Negara Kepulauan Pasifik, perempuan secara keseluruhan lebih kecil kemungkinannya untuk menerima dua dosis vaksin, dengan alasan seperti ketakutan akan efek samping dan misinformasi tentang risiko yang terkait dengan kehamilan dan menyusui.

Di Indonesia, di mana tingkat vaksinasi tinggi, lebih banyak perempuan daripada laki-laki menyebut ketersediaan yang terbatas sebagai alasan utama yang menghalangi mereka untuk menerima vaksin dosis lengkap. Di seluruh negara, alasan yang menghalangi laki-laki untuk menerima dosis kedua sebagian besar berkaitan dengan penjadwalan janji temu, kendala waktu, atau lokasi pusat vaksinasi.

Pandemi juga telah mendorong lebih banyak perempuan keluar dari pasar tenaga kerja, karena banyak dari mereka harus berhenti bekerja untuk memenuhi tanggung jawab keluarga. Laporan ini  mencatat bahwa hal yang mungkin berkontribusi pada makin melebarnya kesenjangan gender dalam kemiskinan, karena perempuan lebih mungkin kehilangan pendapatan mereka, sementara sebelum pandemi pun, perempuan lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki pendapatan.

“Kita mengetahui bahwa beban kerja rumah tangga, perawatan, dan pengasuhan meningkat dengan adanya pandemi ini,” menurut Sarah Knibbs, Officer-in-Charge UN Women Asia and the Pacific. “Tetapi data ini menunjukkan bahwa perempuan, yang telah memikul sebagian besar beban ini dua tahun lalu, masih  menanggung peningkatan beban tersebut. Pembagian tugas tidak terjadi di dalam rumah tangga, dan itu telah membuat banyak perempuan rentan dari segi pendapatan dan dalam pengambilan keputusan di rumah.”

Hilangnya pekerjaan dan pendapatan juga memengaruhi kemampuan masyarakat untuk mengakses makanan yang cukup dan bergizi. Sejak awal pandemi COVID-19, kesulitan pangan memburuk di semua negara. Data baru menunjukkan bahwa di Pakistan, Samoa, Kepulauan Solomon dan Tonga, perempuan mengalami penurunan ketahanan pangan yang lebih besar daripada laki-laki.

Di tujuh negara tempat penelitian dilakukan, pandemi bertepatan dengan kejadian cuaca buruk dan bahaya alam lainnya. Topan, banjir, kekeringan, tanah longsor, dan peristiwa lainnya semakin membebani kapasitas perempuan dan laki-laki untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh pandemi. Hampir seperempat populasi di Kiribati tidak mendapat aliran listrik sejak awal pandemi, sementara di Pakistan, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon angkanya berkisar antara 15 dan 19 persen, tidak termasuk mereka yang kehilangan listrik tetapi telah dipulihkan. Konsekuensi gender yang terkait dengan kurangnya akses ke listrik berkisar dari memengaruhi keselamatan perempuan di malam hari, hingga meningkatnya kerja rumah tangga tak berbayar, seperti memasak, mencuci pakaian atau membersihkan rumah, yang merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh perempuan.

Merespons situasi pandemi, pemerintah di berbagai negara telah menyiapkan program untuk memberikan dukungan keuangan, pasokan medis, produk pertanian, subsidi, dan paket stimulus kepada masyarakat dan bisnis. Namun, akses ke manfaat ini terbatas, dan dalam beberapa kasus, terdapat perbedaan gender. Laporan tersebut menunjukkan bahwa, di seluruh negara, orang dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih mungkin mengaksesnya, karena hibah ini menargetkan kelompok populasi yang paling terdampak.

“Data dari penelitian ini menunjukkan bagaimana program ketahanan ekonomi yang mengintegrasikan target dan desain program yang responsif gender akan menghasilkan hasil pembangunan lebih baik bagi perempuan dan anak perempuan yang paling rentan dalam situasi pandemi,” ucap Samantha Hung, Chief of Gender Equality Thematic Group dari Asian Development Bank. “Ke depannya, ADB, bersama mitra sektor publik dan swasta, harus memastikan bahwa data gender telah diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam kebijakan paska pandemi, mulai dari desain hingga implementasi dan pengawasan, untuk memastikan bahwa perempuan dan anak perempuan berada di pusat dan terdepan dalam upaya pemulihan yang inklusif di Asia Pasifik.”

Perempuan menanggung beban yang lebih besar dari dampak jangka panjang pandemi Covid-19, dua tahun setelah diumumkan. Banyak dari dampak ini lebih disebabkan oleh krisis ekonomi dan pembatasan sosial yang diberlakukan, dibanding infeksi Covid-19 itu sendiri. Demikian hasil studi yang dilakukan di tujuh negara Asia Pasifik yaitu Indonesia, Kiribati, Pakistan, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon dan Tonga yang dipimpin oleh UN Women bekerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), dengan dukungan DFAT Australia.

• Ketidaksetaraan dalam pola vaksinasi COVID-19
Di wilayah Asia Pasifik, lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang belum menerima dua dosis vaksin COVID-19. Di antara mereka yang hanya mendapatkan satu dosis vaksin, perempuan lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk menghubungkan ini dengan kekhawatiran akan efek samping, khususnya bagi perempuan yang hamil dan menyusui. Perempuan dibandingkan dengan laki-laki, juga merasa lebih sulit untuk menghadiri janji temu, sementara lebih banyak laki-laki mengatakan mereka merasa sulit untuk memahami penjadwalan vaksin, menyediakan waktu, atau mencapai lokasi pusat vaksinasi.

• Perubahan dalam kerja berbayar dan tak berbayar
Pandemi telah mendorong lebih banyak perempuan dibanding laki-laki keluar dari pasar tenaga kerja, karena mereka mengambil tanggung jawab pekerjaan rumah tangga, perawatan, dan pengasuhan tak berbayar di rumah. Diperkirakan 32 persen perempuan meninggalkan pasar tenaga kerja di negara-negara tempat survei dilakukan, dibandingkan dengan 9 persen laki-laki. Selain itu, 28 persen perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dan perawatan/pengasuhan tak berbayar sebagai kegiatan ekonomi utama, dibandingkan dengan hanya 2 persen laki-laki.

• Perubahan dalam aliran remitansi
Pandemi telah mengurangi aliran remitansi secara substantial, dengan 92 persen perempuan dan 88 persen laki-laki yang menerima remitansi melaporkan penurunan. Remitansi adalah pendapatan yang signifikan di banyak negara tempat penelitian dilakukan, dan membantu mendukung lebih dari setengah populasi Samoa dan Tonga. Perempuan sedikit lebih mungkin menerima remitansi di seluruh wilayah. Di Tonga saat ini, lebih banyak laki-laki yang menerima remitansi, yang menunjukkan bahwa beberapa aliran remitansi mungkin telah bergeser dari perempuan.

• Kesulitan pangan yang tersebar luas
Di banyak kasus, penurunan pendapatan diiringi dengan kesulitan pangan. Di Pakistan, Tonga dan, pada tingkat lebih rendah, Samoa dan Kepulauan Solomon, proporsi perempuan yang mengalami hambatan dalam mengakses makanan yang cukup dan bergizi lebih tinggi daripada laki-laki.

• Bertambahnya beban kerja rumah tangga dan perawatan/pengasuhan tak berbayar
Ketika negara-negara melakukan pembatasan sosial untuk menekan penyebaran virus, perempuan mendapati diri mereka memikul lebih banyak beban domestik seperti memasak dan membersihkan rumah, mengajarkan anak-anak di rumah, dan merawat anggota keluarga, meskipun telah menghabiskan lebih banyak waktu daripada laki-laki untuk hal-hal seperti itu. tugas per minggu. Di antara perempuan 14 persen mencatat bahwa waktu yang mereka habiskan untuk membersihkan rumah meningkat dibandingkan dengan hanya 10 persen laki-laki. Dan 24 persen perempuan harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengurus berbagai hal terkait pengasuhan anak, dibandingkan dengan 15 persen laki-laki.

• Krisis lingkungan yang tumpang tindih

Dampak pandemi terkait dengan berbagai faktor lingkungan. Pandemi telah meningkatkan konsumsi energi dari rumah tangga karena meningkatnya waktu yang dihabiskan di rumah, dan penggunaan alat pelindung diri dalam jumlah besar telah meningkatkan limbah plastik. Penggunaan kendaraan pribadi juga meningkat karena adanya penyesuaian layanan transportasi umum untuk menekan penyebaran virus. Selain itu, banyak pemerintah yang mendukung industri yang menimbulkan polusi seperti transportasi dan usaha ekstraktif sebagai upaya untuk mengurangi dampak ekonomi dari krisis. Di beberapa negara, 27 persen laki-laki dan 12 persen perempuan beralih dari kegiatan lain menjadi bekerja di pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, listrik, pasokan gas, uap air dan pasokan pendingin udara – aktivitas yang mungkin membawa dampak tinggi akan kemungkinan terjadinya degradasi lingkungan. Studi lain menunjukkan bahwa, di seluruh dunia, perempuan lebih rentan terhadap konsekuensi yang dihadapi dari kenaikan permukaan laut, kekeringan, perubahan cuaca ekstrem, dan dampak lain dari perubahan iklim dan polusi.

• Hambatan untuk mengakses bantuan pemerintah

Banyak pemerintah menyiapkan subsidi untuk populasi yang paling terdampak pandemi dan memberikan stimulus bagi sektor usaha. Namun, akses ke dukungan pemerintah tidak merata, dengan perbedaan gender dalam beberapa kasus. Perlindungan sosial adalah salah satu dukungan yang paling banyak dilakukan oleh pemerintah, tetapi tidak universal. Di Kiribati hampir setengah dari populasi menerima perlindungan sosial, sementara di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon hampir tidak ada yang menerima manfaat seperti itu. Di seluruh negara, perlindungan sosial menargetkan kelompok populasi yang paling kurang beruntung. Data tidak menunjukkan siapa yang dijangkau berdasarkan pendapatan, tetapi terdapat data mengenai bagaimana mereka yang tingkat pendidikannya lebih rendah (sebagai ukuran untuk tingkat ekonomi) memang lebih mungkin untuk mengakses program dukungan.

Fakta menarik dan bermanfaat
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *