Hari-hari belakangan ini adalah hari dimana emosi kita dikuras oleh pemandangan mengenaskan. Di antara yang mengenaskan itu adalah pemandangan rakyat kecil yang menjadi korban banjir yang melanda beberapa lokasi di Gorontalo, Kerusakan lingkungan adalah salah satu persoalan yang menjadi lonceng kegusaran kita menatap masa depan Gorontalo. Banjir yang sedang berlalu bukan saja persoalan teologis tetapi adalah kesalahan teknis dalam rancang bangun Gorontalo.
PERUSAKAN LINGKUNGAN DAN PERLAWANAN KITA
Kejahatan lingkungan rupanya telah menjadi bagian dari kebiasaan, dan bahkan telah menjadi nadi kehidupan kita. Kejahatan lingkungan tidak saja membunuh kehidupan kita di masa kini, tetapi berpotensi merusak masa depan anak cucu kita. Saya dan kita tentu selalu menyaksikan betapa para bedebah pelaku kejahatan lingkungan di tanah kita Gorontalo, seperti tak pernah kehabisan tenaga. Kejahatan lingkungan telah mewabah seperti pandemi.
Saya sering merenung sembari memandangi wajah anak saya yang sedang tertidur pulas. Saya tak bisa memperkirakan, membayangkan kehidupan seperti apa yang akan kita wariskan pada generasi anak-anak kita di tengah kejahatan lingkungan yang makin sadis hingga telah menjadi sesuatu yang normal. Membayangkan ini, bagaikan berada di alam rimba pada abad pertengahan. Di kala itu, manusia hanya bisa hidup dengan memangsa manusia lainnya.
Saya sangsi dengan masa depan anak-anak Gorontalo. Kesangsian ini bisa dibuktikan dengan lengkapnya catatan sejarah kejahatan lingkungan Gorontalo dari ujung Molosifat hingga Pinogu. Sejarah, memori, dan ingatan sosial yang akan kita wariskan tak lain adalah monemun dan dokumen sejarah mengenai perusakan lingkungan yang sangat biadab.
Pelbagai data mencatat puluhan kontrak karya pengelolaan hutan, alih fungsi hutan, korupsi pembangunan daerah aliran sungai, dan pendirian tambang oleh korporasi raksasa adalah alarm bagi kita sekalian. Belum lagi jika kita membayangkan bagaimana negara malah memfasilitasi kartel-kartel perusak lingkungan untuk menancapkan kukunya di tanah ini. Sementara lembaga pendidikan yang diharapkan sebagai benteng, malah diisi oleh oknum-oknum yang menjadi budak akademik bagi kartel-kartel itu dalam rangka mengabsahkan dan melegalisasi kejahatan agar tampak “ilmiah”. Beberapa oknum di institusi pendidikan yang mestinya menjadi palang pertahanan peradaban Gorontalo, seolah menjadi bengis dan menjadi tulang rusuk kartel-kartel perusak lingkungan. Membunuh masa depan anak-anak kita dengan melegalisasi perusakan lingkungan. Sungguh anak-anak Gorontalo tak terbayangkan nasibnya.
Tentu, saya dan kita sadar, bahwa masa depan bangsa ini di tangan generasi kita hari ini. Anak kita yang kini masih dalam pembaringan dengan lugunya tak bisa kita serahkan masa depannya diatur oleh para penjarah itu. Cukup sudah para bedehah itu memporak-porandakkan tanah ini.
Kita dengan mata kepala menyaksikan bagaimana anak-anak kecil yang lugu menjadi korban banjir. Kita menyaksikan melalui media sosial bagaimana ribuan keluarga berada di pengungsian dengan keadaan yang sangat minimal. Kita melihat sendiri tangisan keluarga anak-anak yang meninggal akibat hanyut diterjang banjir. Sementara itu, para bedebah penjarah, perusak lingkungan sedang merebahkan badan di kasur empuk persis saat sebagian besar warga tanah ini melawan genangan banjir dan kasarnya tikar sebagai alas tidur.
Lonceng peradaban harus kita dibunyikan sekencang-kencangnya. Saatnya bangun dari tidur panjang yang terlalu lama ini. Kita tak bisa lagi menonton apalagi diam melihat kebengisan mereka merampok kekayaan alam kita. Cukup sudah para bedebah itu mengambil masa depan anak-anak kita.
MOMENTUM REFLEKTIF
Entah duka apalagi yang akan menyambangi Gorontalo nanti. Bencana adalah lecutan agar kita sadar jikalau selama ini kita memaknai hidup tidak pada tempatnya. Sudah saatnya kita membongkar nalar normal yang selama ini meringkuk dalam kubangan ego nurani kita.
Bencana banjir kali ini adalah titik reflektif bagi kita untuk berubah. Nalar kuasa dan hasrat yang menggurita telah menjadi kebiasaan kita. Politik cakar-cakaran seakan menjadi bagian dari sisi gelap Gorontalo yang tidak pernah selesai.
Sejarah telah terhampar di depan mata, sembari kita mengharap rapalan doa dari seluruh dunia agar kita sekalian tetap diberikan kekuatan nurani untuk dapat mengaitkan keping-keping perasaan yang amuk koyak di tengah puing-puing reruntuhan, di antara manajemen bencana pemerintah yang begitu bobrok, di tengah penjarahan lingkungan, di tengah ribuan virus penyakit yang siap menyengat, dan di dalam linangan air mata keluarga yang kehilangan bocah-bocah kesayangannya. Bocah-bocah itu adalah monumen reflektif bersama. Mereka adalah kuntum-kuntum duka yang menjadi pengemangat kita untuk memperbaiki jazirah ini.
Hari-hari ini solidaritas seluruh penjuru fokus pada upaya memulihkan Gorontalo. Penderitaan korban banjir itu adalah juga penderitaan kita. Kita menyaksikan banyaknya kelompok masyarakat yang turut serta dan aktif menggalang solidaritas dan kepedulian. Banyak anak-anak muda kita yang dalam semangat kerelawanan terjun langsung di tengah derita korban. Bencana ini pula telah menginspirasi kepeloporan digital dalam mengkerangkai kepedulian secara crowdfunding.
Momentum ini sangat berharga dan mahal tak terkira. Kita mesti menjadikan momentum ini untuk bangkit dari keterpurukan. Kita membutuhkan tobat bersama. Kearifan kita semua sedang diuji, apakah momentum ini digunakan untuk berbenah dan mengoreksi diri atau malah membiarkan momentum ini lewat begitu saja. Ujian untuk Gorontalo semakin hari semakin bertambah, namun kita harus keluar dari tatanan yang sudah hampir hancur ini dan muncul sebagai suku bangsa yang kuat untuk menata dan membangun masa depan yang lebih baik, lebih beradab dan lebih berkah. Hanya dengan cara itu, kematian bocah-bocah terbaik Gorontalo dan penderitaan puluhan ribu manusia Gorontalo tak akan sia-sia.
Artikel ini telah tayang di https://www.funco.id/bencana-banjir-kejahatan-lingkungan-dan-momentum-kebangkitan/